Profil
Pendiri
Ditulis oleh Yayasan Al Hikmah
KH. Muh. Ma’mun Muzayyin
Sikap bijaksana, santun dan tawadlu' selalu melekat pada dirinya. Peduli
terhadap persoalan agama, sosial, ekonomi dan organisasi kepemudaan, menjadikan
pengasuh Pesantren Majlis Ta'lim Al-Hikmah (Permata) ini sebagai pijakan banyak
orang, tak sedikit tamu yang datang untuk berkonsultasi tentang masalah yang
sedang dihadapinya. Sikap tidak membeda-bedakan antara yang miskin dan yang
kaya, yang tua dan yang muda membuat tamu-tamunya merasa leluasa dalam
berkomunikasi.
Selain kharismatik, sosok kelahiran Pati, 03 April 1939 dari pasangan H.
Muzayyin dan Hj, Mustaniroh juga seorang humoris, bahkan sering membuat suasana
tegang menjadi santai, sifat tersebut sering dijumpai oleh para santri atau
para tamu saat sedang berada dalam forum-forum silaturrahim.
Beliaulah KH. Muhammad Ma’mun Muzayyin, putra pertama dari tujuh bersaudara.
Keenam saudaranya adalah Siti Mariam (Alm), M. Ma’mur, Siti Mas’udah, Abdul
Aziz, Fatimatuz Zahro, Saifuddin Zuhri. Ayah beliau – H. Muzayyin – adalah
pedagang yang lincah dan jujur, bahkan sering mengembara sampai keluar Jawa.
Masa Kecil dan Pendidikannya Sejak kecil, Pendiri Perguruan Islam Al-Hikmah
(PRIMA) ini sudah terbiasa hidup susah dalam hal ekonomi. Keadaan yang demikian
tidak membuatnya berkecil hati, tapi justru melatih kesabaran serta
kemandiriannya.
Waktu penjajahan Jepang, - waktu itu KH. Ma'mun berusia 6 tahun – Ma'mun Kecil
diajak ibunya mengungsi ke Sedan (rumah kakeknya) naik Kereta Api. Sesampainya
di dalam kereta, ternyata ada beberapa Serdadu Jepang, Sahabat KH. Mahfudz ini
pun dipanggilnya, ibunya sangat khawatir. Tak disangka, serdadu Jepang tersebut
justru merangkul dan menciumi Ma'mun kecil, sampai-sampai beliau diberi hadiah
(sebuah botol bedak buatan jepang yang di Indonesia waktu itu belum ada).
Sekitar 1949, Kyai yang dikenal dengan ilmu Fiqhnya ini belajar di Matholiul
Falah. Setamatnya dari Mathole’, kakak Ustadz Saifuddin Zuhri ini langsung
mengajar di almamaternya (Matholiul Falah) kurang lebih tiga tahunan.
Pada 1962 beliau mengangsu ilmu kepada KH. Zubair di Sarang. Di pondok Sarang
ini, beliau sering melakukan riyadhoh, diantaranya makan satu buah mangga untuk
satu hari satu malam, dan itu dilakukan terus menerus sekaligus puasa. Bukan
hanya itu sifat sabar, nrimo, zuhud dan ibadah yang mendalam, selalau melekat
hingga tua.
Kecerdasan
Direktur Yayasan Al-Hikmah tampak pada kelas tiga Tsanawiyah di Sarang, bahkan
pernah menjadi bintang kelas. Dengan kecerdasan yang dimiliki beliau, KH.
Zubair mempercayakan beliau untuk mengajar salah satu kitab di sana. Setelah
tiga tahun mendalami ilmu di Sarang, KH. Ma'mun pulang dan kembali mengajar di
Mathali’ul Falah.
Menikah dengan Hj. Hanifah Tahun 1965, KH. Ma'mun diambil menantu KH. Abdullah
Salam. Waktu itu, H. Muzayyin bercerita kepada Mbah Dullah (sapaan akrab KH.
Abdullah Salam) tentang anaknya yang sudah dewasa. Dan H. Muzayyin minta Mbah
Dullah untuk mencarikan jodoh anaknya itu, di tengah-tengah perjalanan Mbah
Dullah berkata “angger pengen mantu yo moro” (kalau pingin mantu ya datang
saja-red). Mendengar hal tersebut, KH. Muzayyin benar-benar datang menjodohkan
putranya dengan putri Mbah Dullah yang bernama Hanifah. Menurut cerita adiknya,
pada suatu ketika beliau melihat Hanifah ketika itu masih kecil, hatinya
tertarik saat itu. Memang jarak umur mereka sekitar sepuluh tahunan.
Perjuangan dalam Bidang Pendidikan KH. Muhammad Ma’mun Muzayyin tidak pernah
merasa bosan untuk mengajarkan ilmunya pada santri-santrinya. Mengenai bidang
keilmuan, K. Ma'mun menguasai semua fan dalam ilmu agama, hal tersebut terlihat
ketika mengajar kitab selalu bergonta-gantin, bahkan sudah menjadi hobbi
beliau. Apabila beliau sakit, bukannya cepat selesai tapi malah tambah lama
dalam mengajar.
Kegigihan dalam mengajarkan keilmuannya, terbukti dengan pengajian di pondoknya
yang dilaksanakan setiap habis sholat maktubah. Termasuk mengisi pengajian
dimana-mana, seperti di Bandar-Juana, Pati dan pengajian yang bertempat di
masjid Kajen setiap Kamis pagi. Selain itu, beliau juga mengisi pengajian di
kediamannya sendiri. Ini membuktikan kepedulian beliau terhadap dakwah Islam.
Setiap satu tahun sekali beliau mengadakan pengajian-pengajian yang bertempat
di daerah-daerah yang minus Islamnya.
Di samping mengisi pengajian, beliau juga masih aktif diberbagai Lembaga
Pendidikan, seperti mengajar di Mathali’ul Falah, Madrasah Salafiah dan PGIP.
Pada 1990an, KH. Ma’mun disarankan Mbah Dullah berhenti dari Kantor Urusan
Agama (KUA) agar lebih beristiqomah mengurusi ummat. Pada saat itu juga, beliau
berhenti mengajar di Madrasah Salafiyah dan PGIP, dan hanya mengajar di
Mathali’ul Falah. Di Mathale’ (sebutan Matholiul Falah) beliau pernah menjadi
salah satu Kepala Sekolah untuk satu jenjang.
Selain beberapa kesibukan di atas, beliau juga menjabat sebagai direktur
Madrasah Darunnajah Desa Ngemplak, PRIMA (Perguruan Islam Al-Hikmah) dan
MADINAH (Madrasah Diniyyah).
Perjuangannya dalam dunia pendidikan juga dibuktikan dengan berdirinya Pondok
Pesantren Majlis Ta'lim Al-Hikmah (PERMATA), Perguruan Islam Al-Hikmah (PRIMA)
dan Madrasah Diniyah Al-Hikmah (MADINAH), yang masih di bawah naungan Yayasan
Al-Hikmah.
Bijaksana
Dan Humoris Kebijaksanaan KH Muh Ma’mun Muzayyin terlihat saat menyelesaikan
beberapa masalah dari orang yang datang kepada beliau. Meski begitu, sering
juga mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan. Ada juga yang merasa kalau
kebijakansanaan beliau terasa keras dan kolot. Pernah suatu ketiaka beliau
diprotes oleh beberapa tetangganya, karena saluran pembuangan air dari pondok
telah mengganggu lingkungan, tapi tidak digubrisnya. Lambat laun, saluran
tersebut akhirnya digunakan oleh warga juga.
Ketika
ada konflik keluarga, dalam menyelesaikan masalah, beliau langsung
mengembalikan pada hukum syara’. Tidak memandang orang itu mau menerima atau
tidak. Misalnya ketiak adiknya – H. Syaifuddin Zuhri – menjabat bendahara di
Yayasan Al-Hikmah, dituduh orang lain menggelapkan dana yayasan. Menyikapi hal
itu KH. Ma’mun langsung memberhentikan jabatan adiknya tanpa konfirmasi dulu.
Ini untuk menghindari fitnah, dan cara tersebut sesuai ajaran Islam.
Menurut adiknya kalupun beliau membantah kebijakan kakaknya, nantinya malahan
masalah itu tidak akan selesai dan masalah akan bertambah besar.
Ketekunannya dalam mendalami ilmu fiqh, membuatnya dipercaya menjadi Ro’is
musyawarah Suriyah. Selain kealimannya dalam fiqh, beliau juga seorang yang
bijaksana dan kritis dalam menyikapi situasi dan kondisi, maka para musyawirin
lebih senang apabila yang memimpin itu KH. Ma’mun. bahkan tanah kubur di Kajen
yang pertama kali mengusulkan untuk disertifikatkan adalah beliau. Maka, di
Kajen merupakan satu-satunya desa yang tanah kuburnya disertifikatkan.
Selain
bijaksana, beliau juga seorang yang humoris, meski wajahnya tampak berwibawa
sekali. Karaker humoris itu bisa dilihat saat K. Ma'mun berpidato dengan
diselingi dengan lelucon, beliau juga pandai merubah suasana 'tegang' menjadi
'lunak'. Pernah suatu ketika, beliau diamanati khutbah Jumat di masjid Kajen.
Sebelum berangkat, beliau minta restu ibunya. Begitu khutbah dimulai, karena
sangking gugupnya beliau mengucapkan kata-kata dengan bahasa jawa yang kurang
fasih, sehingga para Jamaah banyak yang tertawa.
Kembali ke Hadapan Allah Pada 1421 H. Beliau berangkat haji bersama istrinya
Hj. Hanifah. Seperti biasa, sebelum berangkat haji, terlebih dahulu beliau
silaturrahim ke tetangga dan sanak saudara, bahkan sampai ke Jawa Timur.
Menurut beberapa sanak saudara, silaturahim memang biasa, tapi dalam
silaturahim itu, seolah megisyaratkan kalau beliau akan pergi dan tidak
kembali.
Pengajian rutin di Bendar, beliau sempat berpamitan kalau besok tidak ngaji
lagi. Dan pada kesempatan yang lain, adiknya, Syaifiddin Zuhri diminta untuk
mengumpulkan anggota Yayasan Al-Hikmah untuk menentukan manajemen seterusnya,
padahal dulu, sebelum haji beliau tidak pernah demikian.
Dalam buku kesehatan haji, beliau termasuk orang yang mengalami resiko tinggi,
karena pernah menjalani oprasi ginjal 2 kali di RS Telogorejo Semarang. Beliau
juga mempunyai penyakit gula dan paru-paru. Tapi saat, itu beliau masih
kelihatan sehat dan mampu untuk menjalankan ibadah haji. Sebelum berangkat,
beliau membeli obat-obatan dengan menghabiskan dana sekitar lima jutaan. Obat
tersebut dibawa untuk beberapa hari di sana.
Sebenarnya, beliau harus dipandu saat di Makkah, tapi beliau ingin melakukan
haji sesuai kebiasaan yang sudah ada. Di sana, beliau membeli banyak kopyah,
saat ditanya muridnya mengapa membeli sebanyak itu? Beliau menjawab “biar
penjualnya laku,” tidak tahunya kopyah itu beliau bagi-bagikan.
Ketika sakitnya mulai kambuh, - pada malam Jumat – beliau dibujuk Ustadz Ni’am
tamyis dan Ustadz Minhaus Syidat agar pulang ke tanah air. Malam itu beliau
menyanggupinya, tapi keesokannya, beliau bilang pada Ustadz Khusnah, kalau
beliau berubah pikiran ingin berziarah ke Madinah.
Semakin hari sakitnya semakin parah, bahkan bernafas pun memakai tabung
oksigen, sehingga beliau dibawa ke rumah sakit. Saat menuju rumah sakit, dengan
ditemani istrinya, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inalilahi wa innailaihi
rojiun pada 22 Dzulhijjah 1421 H, sekiatar pukul 02.00 wilayah Makkah, dan 23
Dzulhijjah 1421 H wilayah Indonesia.
Dengan kepergian beliau untuk selama-lamanya itu, beliau meninggalkan sebelas
anak, yaitu Muh. Mujiburrahman, Ah. Ainun niam, Hj. Milathun Syirfah, Hj Umi
Kulsum, Ruqoyyah Asna Rofiah, Muh. Abdul Hakim, Muh Abdullah, Fatimah Quratul
Aini, Aisyah Nihayatun Nu’ama, Zainab Naila Husna, Fatimatuzzahro.
Hj. Hanifah ingin agar suaminya dishalatkan di Masjidil Haram. Dengan
mengeluarkan dana mulai dari pemandian sampai pemakaman sekitar 450 real atau
1.250.000 rupiah. Sebelum dimandikan, jenazah beliau diminta santri-santrinya
yang sekolah disana, untuk dimandikan sendiri, karena proses pemandian di sana
yang kurang begitu sewajarnya di Indonesia.
Sempat dari panitia tidak mengijinkan, tapi akhirnya dibolehkan setelah
diberitahu kalu KH Muh. Ma’mun Muzayyin itu seorang ulama’ besar di Indonesia.
Setelah selesai, kemudian dari panitia mengambil jenazah beliau untuk dishalati
di Masjidil Haram. Setelah dishalati, jenazah KH. Ma’mun Muzayyin langsung
dibawa ke ma’la untuk dimakamkan, entah kenapa proses pemakaman begitu mudah
dan cepat karena sudah hampir tidak ada tempat pemakaman. Dan di ma’la biasanya
hanya untuk para pembesar kerajaan atau para ulama’ daerah situ. Akan tetapi
proses pemakaman KH. Ma’mun Muzayyin oleh rois makam hanya dengan melihat
jenazahnya tanpa ada proses yang perizinan panjang, lebih-lebih beliau makamnya
bersandingan dengan Sayyidah Khodijah (istri Rosulullah SAW) garis maqbaroh ke
337 lajur ke 103 nomor 03 dari tembok.
Sumber : https://primakajen.blogspot.com/2009/05/profil-pendri-prima.html
0 Komentar